BATU KARST
Desertifikasi
batuan karst (karst rock desertification) merupakan suatu proses yang mengubah
bentang lahan karst bertutupan vegetasi dan tanah menjadi bentang lahan
berbatuan tanpa vegetasi dan tanah sama sekali (Daoxian dan Guilin, 1997).
Desertifikasi batuan karst ini adalah satu bentuk degradasi lingkungan yang
terutama terjadi pada lahan karst. Proses desertifikasi batuan diakibatkan oleh
pemanfaatan lahan karst yang berlebihan dan adanya erosi kuat yang mengikis
tanah penutup batuan karst sehingga batuan dasarnya tersingkap ke permukaan
secara luas (Shijie dkk, 2002; Huang dan Cai, 2007; Xiuqin, 2011).
Desertifikasi
batuan merupakan suatu proses hasil interaksi antara kondisi geologi,
geomorfologi, curah hujan, temperatur, vegetasi penutup, tanah dan aktifitas
manusia (Yansui dkk, 2009; Ji dan Xie, 2011). Karakteristik batuan karbonat
pada kawasan karst mendasari terjadinya proses desertifikasi batuan karst
(Sunkar, 2008). Batuan karbonat yang mudah terlarutkan oleh air hujan membentuk
morfologi eksokarst maupun endokarst berupa celah, rekah, dan lorong. Lapisan
tanah pada kawasan karst yang tipis dapat tererosi bersamaan dengan aliran air
hujan yang masuk ke dalam celah, rekah dan lorong tersebut.
Curah
hujan memberikan pengaruh langsung terhadap kejadian erosi pada tanah penutup
lahan karst. Xiong dkk (2009) menjelaskan adanya korelasi positif antara
peningkatan curah hujan dan temperatur dengan desertifikasi batuan. Erosi tanah
akan meningkat pada curah hujan dengan intensitas yang semakin tinggi.
Kemampuan air hujan mengerosi tanah ini semakin kuat dengan semakin jarangnya
vegetasi penutup tanah tersebut.
Temperatur
memberikan pengaruh terhadap kelembaban tanah, dimana kelembaban tanah akan
berkurang dengan semakin tingginya temperatur. Kenaikan temperatur juga akan
meningkatkan evapotanspirasi pada vegetasi penutup lahan karst. Penurunan
kelembaban tanah dan peningkatan evapotranspirasi akan mengarah pada kekeringan
lahan karst. Peningkatan kekeringan hingga ambang batas tertentu dapat
mengakibatkan kematian vegetasi penutup yang ada pada lahan karst.
Temperatur
bersama-sama dengan hujan memberikan pengaruh terhadap kecepatan pelarutan
batuan karbonat (Ford dan Williams, 2007; Xiong, 2009). Pada temperatur rendah,
variasi curah hujan tidak banyak memberikan efek pada variasi tingkat pelarutan
karst. Tingkat pelarutan batuan karbonat oleh curah hujan meningkat pada
temperatur 16 hingga 20oC. Intensitas pelarutan pada batuan karst
ini akan memperlebar celah dan rekah yang memungkinkan pengangkutan massa tanah
yang semakin cepat.
Faktor
manusia yang memberikan pengaruh pada terjadinya desertifikasi batuan lahan
karst ini adalah tekanan pertumbuhan jumlah penduduk dan berbagai aktifitas
eksploitasi terhadap lahan karst yang melebihi kemampuan dan daya dukung karst
tersebut (Sijhie dkk, 2002; Ford dan Williams, 2007; Huang dkk, 2012). Yang dkk
(2009) melaporkan bahwa faktor antropogenik seperti aktivitas manusia dan
penggunaan lahan menjadi faktor pemicu yang lebih dominan dibandingkan dengan
faktor lain dalam proses desertifikasi batuan karst.
Aktifitas
manusia seperti penambangan, penebangan hutan, dan pertanian pada lahan karst
dapat percepatan proses desertifikasi lahan karst. Penambangan di wilayah karst
ini biasanya mengambil batu gamping hingga mencapai lapisan zona vadose. Penggalian
batu gamping seperti pada bukit-bukit karst akan menghilangkan zona epikart
yang sangat penting sebagai lapisan penangkap air. Hilangnya zona epikart ini
tentu saja akan mematikan imbuhan air ke dalam lorong-lorong konduit atau
sungai-sungai bawah tanah. Air tidak dapat terresapkan ke dalam jaringan sungai
bawah tanah tersebut. Air akan melimpas di permukaan dan dapat membentuk air
larian dengan volume yang besar dan banjir. Akibatnya tentu adalah matinya
sungai-sungai bawah tanah, matinya mata air di kawasan karst, peningkatan erosi
pada tanah penutup, serta potensi bencana banjir pada saat hujan. Penelitian
yang dilakukan oleh Risyanto dkk (2001) menyebutkan dampak negatif terhadap
lingkungan akibat penambangan dolomit meliputi perubahan relief, ketidakstabilan
lereng, kerusakan tanah, terjadinya perubahan tata air permukaan dan bawah
permukaan, hilangnya vegetasi penutup, perubahan flora dan fauna, meningkatnya
kadar debu dan kebisingan.
Penebangan
hutan (deforestasi) pada wilayah karst telah terbukti menjadi penyebab awal
terjadinya desertifikasi batuan seperti dilaporkan oleh Sunkar (2008) di karst
Gunungsewu, Yansui dkk (2008) di wilayah otonomi Guangxi Zhuang, Xiong dkk
(2009) di wilayah Yongshun County dan Li dkk (2009) di area karst Zhudong. Penebangan
hutan ataupun pengubahan fungsi hutan menjadi lahan pertanian dan lain-lain,
mengubah kerapatan tutupan vegetasi pada lahan karst. Air hujan akan dengan
mudah mencapai permukaan tanah karena hilangnya vegetasi penutup. Ketika
vegetasi penutup tanah pada lahan karst telah hilang, maka proses kehilangan
tanah akan tidak terhindarkan (White, 1988). Peran penting vegetasi penutup
pada lahan karst seperti disebutkan oleh Xiong dkk (2009) yaitu: 1. sebagai
penangkap air hujan dan meresapkannya ke dalam tanah, 2. mencegah butiran air
hujan langsung mengenai permukaan tanah sehingga mengurangi erosi percik (splash erosion) yang ditimbulkan oleh
air hujan tersebut. Tingginya kemampuan sistem pengatus pada karst meloloskan
butiran tanah ketika terjadi aliran air melalui celah dan rekah yang ada serta
kondisi solum tanah yang tipis mengakibatkan erosi kuat pada lapisan tanah
penutup batuan karst saat terjadi hujan (White, 1988; Ford dan Williams, 2007).
Pertanian
yang dilaksanakan masyarakat pada lahan karst biasanya dilakukan pada
lembah-lembah karst atau pada lereng-lereng bukit karst dengan membuat teras.
Proses penggemburan tanah selama masa pertanaman akan meningkatkan kemampuan
pengangkutan butir tanah oleh air hujan melalui berbagai rekah dan celah yang ada
(Yang dkk, 2011). Massa tanah akan tererosi
masuk ke dalam akuifer karst melalui imbuhan-imbuhan autogenik, pori
makro batuan karst dan jalur-jalur masuk pada doline (Coxon, 2011). Akibat
erosi tersebut ketebalan solum pada permukaan karst terus menipis.
Proses desertifikasi batuan pada lahan karst akan memberikan dampak
hilangnya vegetasi dan tanah penutup, serta tersingkapnya batuan dasar ke
permukaan. Pada kondisi tersebut, produktifitas lahan akan menurun bahkan
hilang sama sekali (Zhang dkk, 2011). Dampak selanjutnya adalah terjadinya
penurunan taraf hidup masyarakat wilayah karst tersebut. Desertifikasi batuan
pada lahan karst juga memberikan pengaruh terhadap kondisi dan kualitas air
bawah tanah. Deng dan Jiang (2011) melaporkan bahwa dampak desertifikasi batuan
mengakibatkan aliran yang kecil dan tidak tetap pada mata air epikarst,
sensitivitas yang tinggi terhadap curah hujan pada mata air epikarst, serta
kondisi air menjadi kotor.
Sebaiknya penulis blog ini mencantumkan alamat sumber yang diacu, dan tidak melakukan copy paste begitu saja. Hal ini untuk menghindari tindak plagiasi yang dapat merugikan beberapa pihak. Terimakasih.
BalasHapushttp://karstgunungsewu.blogspot.com , http://geo.fis.unesa.ac.id